EPISODE-EPISODE
AL BANNA
(by
: Lail Qadr Bardin)
Bagian
Satu
SEMUA
BERAWAL DARI ANGKET
Suatu
hari di bulan Januari 2004
Hari ini
ada pendataan minat bagi siswa kelas 3 SMA N 1 Argamakmur. Setiap siswa diberikan angket yang isinya
adalah beberapa pertanyaan mengetahui apa minat, cita-cita dan keinginan
siswa-siswi yang sebentar lagi akan tamat SMA. Beberapa item itu tentu saja
tentang keinginan melanjutkan sekolah (kuliah) atau bekerja.
Angket itu
sudah tergeletak di mejaku. Beberapa siswa dikelasku malahan sudah selesai
mengisi. Sudah ada juga yang tersenyum
dan berbincang penuh keyakinan akan melanjutkan sekolah. Lain halnya denganku, angket itu belum sama
sekali ku gubris. Bingung mau dijawab apa. Begitu pikirku.
“ Sein,
kok idak di isi angketnyo?”, Meri
yang duduk disebelahku bertanya. Mungkin dia heran kok aku tidak begitu respon
pada lembaran kertas itu.
“ Bentar
lagi” jawabku sekenanya saja.
Dengan
tidak bersemangat ku ambil kertas angket itu, ku baca sejenak. Ku baca dengan
teliti. Pada item ke lima, mataku tertegun.
Setelah
lulus SMA saya akan : a. Kuliah b. Kerja
.
Masih dengan asal
jawab ku lingkari saja pilihan jawaban a. Kuliah.
Jika
Saya Kuliah, Jurusan yang akan saya pilih adalah…………./……….
Ku isi dengan BAHASA INGGRIS /AKUNTANSI
Setelah
semua item ku isi ( asal isi maksudnya), lembaran itu pun di kumpulkan pada
ketua kelas, yang nantinya akan meneruskan pada wali kelas, untuk diproses oleh
Guru BK.
****
Begitulah,
awalnya memang tidak pernah ada keinginan yang besar untukku melanjutkan sekolah
. Tentu saja ini di dukung sepenuhnya oleh beberapa alasan klasik, yang paling
mendukung tentu adalah factor ekonomi.
Tak mungkin rasanya orangtuaku mampu menanggung biaya kuliahku nantinya.
Oh ya,
Namaku Hussein. Aku seorang siswa tahun terakhir di salah satu SMA favorit di kota
Argamakmur, sebelah utara Provinsi Bengkulu. Untuk diketahui, aku bukanlah
sosok pemuda seperti halnya teman-teman seangkatanku. Aku adalah seorang anak
kampung, yang untuk bersekolah, terpaksa
harus nge-kost dan terpisah dari orang tua. Orang tuaku tinggal di sebuah kampung kecil, pada jalur lintas Argamakmur
– Bengkulu. Terlahir dari orang tua yang petani, anak ke lima dari 7
bersaudara. Tentu tidaklah mudah. Perjuangan kuat orang tua sebagai petani
hanya cukup untuk hari ini dan besok ( makan besok di cari hari ini).
Alhamdulillahnya,
walau aku terlahir dari keluarga miskin, namun berkah otak yang lumayan encer
ada padaku. Sejak SD, selalu saja aku berada di peringkat satu perangkingan
kelas. Aku juga di sayang oleh guru-guru ku ketika SD. Dan saat SMP pun, aku
berhasil masuk SMP terfavorit dan terunggul di kecamatan, SMP Negeri 1
Argamakmur namanya. Saat SMApun, aku berhasil masuk SMA terfavorit dan berada
di urutan ke dua puluh lima penjaringan siswa baru.
Namun
Perjalanan lima tahun setengah SMP-SMA hingga saat ini tentu saja tidaklah mulus dan mudah seperti
halnya para anak kota lain yang satu sekolah denganku. Aku harus terpisah dari
orang tua, ngekost, masak sendiri, uang saku yang selalu serba kurang,
berpindah-pindah kost, semua serba mandiri ( dengan pembiayaan dari orang tua
tentunya). Itu ku lakoni sejak kelas satu SMP.
Dan hari
ini, hari yang menjadi titik awal sebenarnya. Ketika kami di haruskan mengisi
angket itu. Hari ketika semua mimpi itu
bangkit dari hatiku, walau di awali dengan asal isi saja.
Februari
– Mei 2004
Semua
siswa kelas tiga, sudah sangat fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi satu
agenda yang sangat menakutkan sekaligus menentukan. Agenda yang hanya
dilaksanakan tiga hari dalam tiga tahun belajar di SMA. Ya, Ujian Akhir Nasional. Di benci
namun harus di hadapi. Angkatanku adalah angkatan kedua yang harus melewati
Ujian Akhir Nasional untuk lulus dari SMA.
Berbagai
macam upaya dilaksanakan pihak sekolah untuk keberhasilan seluruh siswa. Mulai
dari pembelajaran intensive, bank soal, hingga les sore yang sangat melelahkan
sekaligus menyenangkan.
Dan sambil
mengikuti semua agenda terjadwal itu pun, perlahan mimpi ku yang awalnya terasa
tidak mungkin berubah dan tumbuh menjadi suatu yang besar, suatu asa yang makin
membuncah menjadi tekad untuk kugapai. Ya, Aku harus Kuliah. Sesuai dengan
harapanku, aku harus jadi salah satu diantara dua, Akuntan atau Guru. Dua hal
ini adalah cita-citaku yang aku pupuk sejak tahun pertama SMA. Menjadi Akuntan,
termotivasi dari kondisi financial keluarga yang selalu inflasi, selalu serba
kekurangan. Yang aku tahu ketika, seorang akuntan berpenghasilan besar dan bisa
hidup kaya. Makanya ketika mendapat jurusan IPS di kelas iga, aku senang.
Senang karena sepertinya cocok denganku.Aku suka hal-hal yang berbau duit,
hehehe..(bukan matre lho…) Kebetulan Akuntansi adalah mata pelajaran favoritku,
selain bahasa Inggris. Di tambah pula guru akuntansiku adalah sosok motivatif,
pekerja keras dan tegas yang selalu ku kagumi, Ibu Nurpalinsyah. Pelajaran
Akuntansi terasa sangat menyenangkan bersama beliau, walau cap guru sangar tak
pernah hilang darinya. Cita-cita kedua, menjadi Guru. Cita-cita mulia yang
kubangun berdasarkan inspirasi yang kudapat dari sosok-sosok guru yang bagiku
kala itu adalah para selebritis yang selalu ku kagumi keikhlasan dan
dedikasinya. Dan tentu saja, aku termotivasi menjadi guru karena keyakinan
bahwa membuat orang lain jadi tahu dan pintar sebenarnya sesuatu yang indah dan
berkah, nyaris sempurna. setidaknya begitu
penilaianku bagi guru-guruku, dari SD hingga SMA, guru menjadi teladan
bagiku, setelah orang tuaku.
Satu lagi
motivasiku adalah aku ingin membuktikan, bahwa anak kampung ini, yang sering di
tertawai ketika ia mengutarakan cita-citanya pada temannya, juga bisa dan
bahkan mampu untuk jadi lebih baik. Setidak nya lebih baik dari para penertawa
yang selalu terkesan meremehkan siswa-siswi (bukan hanya saya) yang berasal
dari kampung. Anak dusun, begitu
bahasa hinaan mereka.
Begitulah,
Segala aktivitas pembelajaran yang memaksaku menjadi dua kali lipat lebih sibuk
kuikuti dengan khidmat. Sambil tetap menjaga impian impianku agar tidak pudar
dan terbang seperti asap. Aku harus bisa, begitu kalimat yang selalu ku
ulang-ulang dalam bathinku. Walau kadang goyah juga karena kondisi perekonomian
keluargaku yang masih saja kekurangan, seakan siap meluluh lantahkan semua
harapan dan keinginnanku untuk lebih maju. Meski semua cita- cita dan
keinginanku tidak pernah ku lisankan pada orang tuaku. Tidak ingin membebani
pikiran mereka adalah alasan terbesarku.
Ujian
Akhir Nasional pun akhirnya terlaksana juga. Berat memang. Namun aku dan semua
teman-temanku telah berusaha keras. Tinggal lagi menunggu hasilnya pada 14 Juli
2004 mendatang.
Sementara
menunggu pengumuman kelulusan, kuisi har i- hariku dengan pulang kampung dan
membantu meringankan pekerjaan orang tuaku di kebun karet dan ladang kami.
14
Juli 2004.
Hari kelulusan.
Seluruh
siswa termasuk aku, hari ini di lingkupi rasa debar dan harap cemas. Cemas akan
hasil perjuangan kami selama tiga tahun di sekolah ini. Akan luluskah, atau
kandas. Semua di tentukan hari ini.
Pukul
10.00 WIB, seluruh wali murid telah masuk ke ruang kelas masing-masing.
Sementara para siswa di luar ruangan. Ada yang berdo’a, ada pula yang sekedar
duduk dan mengobrol untuk menghilangkan kecemasannya. Amaklah yang datang
untukku hari inai, aku juga yakin hatinya berdebar penasaran akan hasil dalam
amplop yang sebentar lagi di umumkan.
Dari ujung koridor yang memungkinkan ku melihat kondisi didalam kelas
ku, kulihat Amakku berbincang dengan beberapa wali murid didalam kelas. Rasa
nya topik nya pun sama dengan perbincangan kami di luar kelas. Lulus atau
tidak.
Setengah
jam menunggu, Amakku pun keluar dari ruangan. Tampak airmata membasahi wajah
keriputnya. Ada apa ya? Bathinku, jangan-jangan isi amplop itu kabar buruk
untukku?..kok Amak menangis?
“ Nak,
Lulus!, selamat ya..”
Ucapnya
kemudian, kalimat pertama yang diiringi
semburat senyum dan airmata bahagia dari wajahnya. Dunia tiba-tiba tampak cerah
dimataku. Segera aku hamburkan wajahku ke telapak tangannya dan pelukan kemenanganpun
kami nikmati sejenak di halaman kelasku. Amak, hari ini telah kupurnakan satu
cita-cita muliamu. Terimakasih Amak.
“Amak
pulang duluan ya, silahkan kalo mau gabung sama teman-teman. Ingat jangan
berlebihan ngerayain kelulusannya. Pulangnya jangan kesorean.” Pesan Amak
padaku.
“Iya,
Mak”. Jawabku penuh senyum lega.
Sepanjang
sisa hari ini, aku dan beberapa teman akrabku menikmati euphoria kelulusan.
Merayakan kemenangan kami. Semua tersenyum syukur, bangga dan haru karena akhirnya semua usaha keras itupun berbalas
Satu kata didalam Amplop. LULUS.
15
Juli 2004
Semua
sudah berkumpul di ruang keluarga, Abak, Amak, Wo Da, , Dang Deskan, Wo Hira,
Serta dua adikku Dian dan Tika. Agenda rapat keluarga menentukan kelanjutan
pendidikanku atau tidak.
Suara Abak adalah yang
pertama terdengar memecahkan keheningan .
“Gimana Sein,
Mau lanjut atau tidak sekolahmu?”
Abak
terdiam sejenak menghirup rokok nya.
“Kalo
lanjut, apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?, kalo kamu gak lanjut juga,
apa kamu tahan berlama-lama di dusun?”
Amak masih
belum bersuara.
“Maksud
Abak begini, Kalau Hussein berminat pengen kuliah, tentu harus siap dengan
hidup yang lebih susah dibanding dengan kondisimu saat SMP hingga SMA.” Wo Da mencoba memberi kejelasan akan maksud Abak.
“Tapi
Kalau tidak lanjut, maka Hussein tinggal dan bekerja di dusun. Sama seperti
teman-temanmu yang lain”. Kali ini Wo Hira yang menambahkan.
Amak masih
diam juga.
Akhirnya
kuberanikan diri untuk mengutarakan keinginanku,
“Sebenarnya Hussein
pengen kuliah mak, pengen lanjut. Hussein tidak mau terhenti sampai disini
saja. Ada cita-cita yang ingin Hussein wujudkan Mak, Bak. Hussein sadar bahwa
keputusan ini akan disertai konsekuensi yang berat untuk Hussein, berat pula
untuk keluarga kita.”
Kembali aku berusaha
mengumpulkan kekuatanku.
“Hussein tidak mau
tinggal di dusun. Mau lebih maju mak. Biar semua juga jadi lebih baik. Walau
berat”
Semua menatapku. Amak
masih terdiam juga.
“ Namun pada akhirnya
keputusan Hussein serahkan juga pada keputusan bersama kita. Karena nantinya
kalaupun Hussein jadi kuliah, pembiayaannya kan akan ditanggung oleh semua,
bukan hanya Amak dan Abak.” Ucapaku meminta pertmbangan.
Wo Da, Kakak ku yang tertuapun
akhirnya angkat bicara,
“ Kalau Wo Da sih,
inginnya Hussein Kuliah. Jadi orang yang lebih baik dari semua Wo dan Dangmu
yang tidak kuliah. Soal semua konsekuensinya, akan kita tanggung bersama
nantinya. Dan Wo da juga tidak ragu akan tekad Hussein. Karena selama enam
tahun hidup madiri di kecamatan, Hussein sudah terbukti sanggup bertahankan.”
Tuturnya panjang
Semakin
kuat saja azzam ku mendengar suntikan semangat dari Wo Da, Kakak tertua yang
paling sering men-cereweti ku, walau sebenarnya dialah yang paling sayang
padaku..
“Bagaimana
Mak, Bak? Keputusan tertinggi ada ditangan Mak dan Bak” Kali ini Dang Deskan yang bersuara.
“ Mak
Setuju!, Hussein Harus Kuliah, Apapun konsekuensinya nanti Mak dan Bak akan
siap menanggungnya. Tapi dengan Syarat..”, Amak Terhenti,
“ Amak
hanya mengizinkan Hussein kuliah di universitas Negeri, agar lebih murah dan
lebih berkualitas. Emak tidak mengizinkan di swasta. Disamping itu, Hussein
harus bertekad kuat, bermental baja, tidak boleh lempeng dan putus ditengah jalan, hanya karena susahnya pembiayaan dan
hidup di kota. Bagaimana Bak?”. Kalimat terakhir Amak meminta persetujuan dari
Abak.
“Kapan Tes
Penerimaan Mahasiswa baru?” Abak bertanya sambil menatapku. Sepertinya aku bisa
menebak arah pembicaraan Abak.
“Minggu
depan, Bak. Untuk gelombang pertama reguler. Pengumuman kelulusannya tanggal 14
Agustus.”Jawabku. Mulai muncul rasa optimis cita-citaku untuk kuliah akan
terwujud.
“Baik.
Persiapkan diri untuk tes ya. Sebentar Lagi SPMB gelombang Pertama. Usaha yang
keras, berhasil syukur,tidak juga jangan putus asa. Masih Ada SPMB Gelombang
kedua kan?.”
“Iya,
Bak.Insya Allah Lulus Gelombang pertama regular.” Yakinku.
Leganya
hatiku. Siap Mak, Bak. Akan kubuktikan bahwa anakmu ini bisa dan sanggup!
14
Agustus 2004
Pengumuman SPMB.
Alhamdulillah,
Aku Lulus. Program study sesuai dengan cita-cita ku, Pendidikan Bahasa Inggris,
Universitas Bengkulu. Universitas Negeri Di provinsi.
Hari ini
aku harus mulai menata semangat baru, karena Petualangan baru akan segera di
mulai. Jadi MAHASISWA.
Segala puji bagimu Ya
Allah.
************************To
Be Continued**************************
Note:
Abak : Ayah
Amak: Ibu
Wo : Kakak Perempuan
Dang: Kakak Laki-laki
Idak : tidak
No comments:
Post a Comment