Pages

Friday, September 9, 2011

EPISODE-EPISODE AL BANNA (by : Lail Qadr Bardin) Bagian Satu SEMUA BERAWAL DARI ANGKET


EPISODE-EPISODE AL BANNA
(by : Lail Qadr Bardin)
Bagian Satu
SEMUA BERAWAL DARI ANGKET

Suatu hari di bulan Januari 2004
Hari ini ada pendataan minat bagi siswa kelas 3 SMA N 1 Argamakmur.  Setiap siswa diberikan angket yang isinya adalah beberapa pertanyaan mengetahui apa minat, cita-cita dan keinginan siswa-siswi yang sebentar lagi akan tamat SMA. Beberapa item itu tentu saja tentang keinginan melanjutkan sekolah (kuliah) atau bekerja.
Angket itu sudah tergeletak di mejaku. Beberapa siswa dikelasku malahan sudah selesai mengisi. Sudah ada juga yang  tersenyum dan berbincang penuh keyakinan akan melanjutkan sekolah.  Lain halnya denganku, angket itu belum sama sekali ku gubris. Bingung mau dijawab apa. Begitu pikirku.
“ Sein, kok idak di isi angketnyo?”, Meri yang duduk disebelahku bertanya. Mungkin dia heran kok aku tidak begitu respon pada lembaran kertas itu.
“ Bentar lagi” jawabku sekenanya saja.
Dengan tidak bersemangat ku ambil kertas angket itu, ku baca sejenak. Ku baca dengan teliti. Pada item ke lima, mataku tertegun.
Setelah lulus SMA saya akan : a. Kuliah b. Kerja .
Masih dengan asal jawab ku lingkari saja pilihan jawaban a. Kuliah.
Jika Saya Kuliah, Jurusan yang akan saya pilih adalah…………./……….
Ku isi dengan BAHASA INGGRIS /AKUNTANSI
Setelah semua item ku isi ( asal isi maksudnya), lembaran itu pun di kumpulkan pada ketua kelas, yang nantinya akan meneruskan pada wali kelas, untuk diproses oleh Guru BK.
****
Begitulah, awalnya memang tidak pernah ada keinginan yang besar untukku melanjutkan sekolah . Tentu saja ini di dukung sepenuhnya oleh beberapa alasan klasik, yang paling mendukung tentu adalah factor ekonomi.  Tak mungkin rasanya orangtuaku mampu menanggung biaya kuliahku nantinya.
Oh ya, Namaku Hussein. Aku seorang siswa tahun terakhir di salah satu SMA favorit di kota Argamakmur, sebelah utara Provinsi Bengkulu. Untuk diketahui, aku bukanlah sosok pemuda seperti halnya teman-teman seangkatanku. Aku adalah seorang anak kampung, yang  untuk bersekolah, terpaksa harus nge-kost dan terpisah dari orang tua. Orang tuaku tinggal  di sebuah kampung kecil, pada jalur lintas Argamakmur – Bengkulu. Terlahir dari orang tua yang petani, anak ke lima dari 7 bersaudara. Tentu tidaklah mudah. Perjuangan kuat orang tua sebagai petani hanya cukup untuk hari ini dan besok ( makan besok di cari hari ini).
Alhamdulillahnya, walau aku terlahir dari keluarga miskin, namun berkah otak yang lumayan encer ada padaku. Sejak SD, selalu saja aku berada di peringkat satu perangkingan kelas. Aku juga di sayang oleh guru-guru ku ketika SD. Dan saat SMP pun, aku berhasil masuk SMP terfavorit dan terunggul di kecamatan, SMP Negeri 1 Argamakmur namanya. Saat SMApun, aku berhasil masuk SMA terfavorit dan berada di urutan ke dua puluh lima penjaringan siswa baru.
Namun Perjalanan lima tahun setengah SMP-SMA hingga saat ini  tentu saja tidaklah mulus dan mudah seperti halnya para anak kota lain yang satu sekolah denganku. Aku harus terpisah dari orang tua, ngekost, masak sendiri, uang saku yang selalu serba kurang, berpindah-pindah kost, semua serba mandiri ( dengan pembiayaan dari orang tua tentunya). Itu ku lakoni sejak kelas satu SMP.
Dan hari ini, hari yang menjadi titik awal sebenarnya. Ketika kami di haruskan mengisi angket itu.  Hari ketika semua mimpi itu bangkit dari hatiku, walau di awali dengan asal isi saja.
Februari – Mei 2004
Semua siswa kelas tiga, sudah sangat fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi satu agenda yang sangat menakutkan sekaligus menentukan. Agenda yang hanya dilaksanakan tiga hari dalam tiga tahun belajar di SMA. Ya, Ujian Akhir Nasional. Di benci namun harus di hadapi. Angkatanku adalah angkatan kedua yang harus melewati Ujian Akhir Nasional untuk lulus dari SMA.
Berbagai macam upaya dilaksanakan pihak sekolah untuk keberhasilan seluruh siswa. Mulai dari pembelajaran intensive, bank soal, hingga les sore yang sangat melelahkan sekaligus menyenangkan.
Dan sambil mengikuti semua agenda terjadwal itu pun, perlahan mimpi ku yang awalnya terasa tidak mungkin berubah dan tumbuh menjadi suatu yang besar, suatu asa yang makin membuncah menjadi tekad untuk kugapai. Ya, Aku harus Kuliah. Sesuai dengan harapanku, aku harus jadi salah satu diantara dua, Akuntan atau Guru. Dua hal ini adalah cita-citaku yang aku pupuk sejak tahun pertama SMA. Menjadi Akuntan, termotivasi dari kondisi financial keluarga yang selalu inflasi, selalu serba kekurangan. Yang aku tahu ketika, seorang akuntan berpenghasilan besar dan bisa hidup kaya. Makanya ketika mendapat jurusan IPS di kelas iga, aku senang. Senang karena sepertinya cocok denganku.Aku suka hal-hal yang berbau duit, hehehe..(bukan matre lho…) Kebetulan Akuntansi adalah mata pelajaran favoritku, selain bahasa Inggris. Di tambah pula guru akuntansiku adalah sosok motivatif, pekerja keras dan tegas yang selalu ku kagumi, Ibu Nurpalinsyah. Pelajaran Akuntansi terasa sangat menyenangkan bersama beliau, walau cap guru sangar tak pernah hilang darinya. Cita-cita kedua, menjadi Guru. Cita-cita mulia yang kubangun berdasarkan inspirasi yang kudapat dari sosok-sosok guru yang bagiku kala itu adalah para selebritis yang selalu ku kagumi keikhlasan dan dedikasinya. Dan tentu saja, aku termotivasi menjadi guru karena keyakinan bahwa membuat orang lain jadi tahu dan pintar sebenarnya sesuatu yang indah dan berkah, nyaris sempurna. setidaknya begitu  penilaianku bagi guru-guruku, dari SD hingga SMA, guru menjadi teladan bagiku, setelah orang tuaku.
Satu lagi motivasiku adalah aku ingin membuktikan, bahwa anak kampung ini, yang sering di tertawai ketika ia mengutarakan cita-citanya pada temannya, juga bisa dan bahkan mampu untuk jadi lebih baik. Setidak nya lebih baik dari para penertawa yang selalu terkesan meremehkan siswa-siswi (bukan hanya saya) yang berasal dari kampung. Anak dusun, begitu bahasa hinaan mereka.
Begitulah, Segala aktivitas pembelajaran yang memaksaku menjadi dua kali lipat lebih sibuk kuikuti dengan khidmat. Sambil tetap menjaga impian impianku agar tidak pudar dan terbang seperti asap. Aku harus bisa, begitu kalimat yang selalu ku ulang-ulang dalam bathinku. Walau kadang goyah juga karena kondisi perekonomian keluargaku yang masih saja kekurangan, seakan siap meluluh lantahkan semua harapan dan keinginnanku untuk lebih maju. Meski semua cita- cita dan keinginanku tidak pernah ku lisankan pada orang tuaku. Tidak ingin membebani pikiran mereka adalah alasan terbesarku.
Ujian Akhir Nasional pun akhirnya terlaksana juga. Berat memang. Namun aku dan semua teman-temanku telah berusaha keras. Tinggal lagi menunggu hasilnya pada 14 Juli 2004 mendatang.
Sementara menunggu pengumuman kelulusan, kuisi har i- hariku dengan pulang kampung dan membantu meringankan pekerjaan orang tuaku di kebun karet dan ladang kami.
14 Juli 2004.
Hari kelulusan.
Seluruh siswa termasuk aku, hari ini di lingkupi rasa debar dan harap cemas. Cemas akan hasil perjuangan kami selama tiga tahun di sekolah ini. Akan luluskah, atau kandas. Semua di tentukan hari ini.
Pukul 10.00 WIB, seluruh wali murid telah masuk ke ruang kelas masing-masing. Sementara para siswa di luar ruangan. Ada yang berdo’a, ada pula yang sekedar duduk dan mengobrol untuk menghilangkan kecemasannya. Amaklah yang datang untukku hari inai, aku juga yakin hatinya berdebar penasaran akan hasil dalam amplop yang sebentar lagi di umumkan.  Dari ujung koridor yang memungkinkan ku melihat kondisi didalam kelas ku, kulihat Amakku berbincang dengan beberapa wali murid didalam kelas. Rasa nya topik nya pun sama dengan perbincangan kami di luar kelas. Lulus atau tidak.
Setengah jam menunggu, Amakku pun keluar dari ruangan. Tampak airmata membasahi wajah keriputnya. Ada apa ya? Bathinku, jangan-jangan isi amplop itu kabar buruk untukku?..kok Amak menangis?
“ Nak, Lulus!, selamat ya..”
Ucapnya kemudian, kalimat  pertama yang diiringi semburat senyum dan airmata bahagia dari wajahnya. Dunia tiba-tiba tampak cerah dimataku. Segera aku hamburkan wajahku ke telapak tangannya dan pelukan kemenanganpun kami nikmati sejenak di halaman kelasku. Amak, hari ini telah kupurnakan satu cita-cita muliamu. Terimakasih Amak.
“Amak pulang duluan ya, silahkan kalo mau gabung sama teman-teman. Ingat jangan berlebihan ngerayain kelulusannya. Pulangnya jangan kesorean.” Pesan Amak padaku.
“Iya, Mak”. Jawabku penuh senyum  lega.
Sepanjang sisa hari ini, aku dan beberapa teman akrabku menikmati euphoria kelulusan. Merayakan kemenangan kami. Semua tersenyum syukur, bangga dan haru karena  akhirnya semua usaha keras itupun berbalas Satu kata didalam Amplop. LULUS.
15 Juli 2004
Semua sudah berkumpul di ruang keluarga, Abak, Amak, Wo Da, , Dang Deskan, Wo Hira, Serta dua adikku Dian dan Tika. Agenda rapat keluarga menentukan kelanjutan pendidikanku atau tidak.
Suara Abak adalah yang pertama terdengar memecahkan keheningan .
“Gimana Sein, Mau lanjut atau tidak sekolahmu?”
Abak terdiam sejenak menghirup rokok nya.
“Kalo lanjut, apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?, kalo kamu gak lanjut juga, apa kamu tahan berlama-lama di dusun?”
Amak masih belum bersuara.
“Maksud Abak begini, Kalau Hussein berminat pengen kuliah, tentu harus siap dengan hidup yang lebih susah dibanding dengan kondisimu saat SMP hingga SMA.”  Wo Da mencoba memberi kejelasan akan maksud Abak.
“Tapi Kalau tidak lanjut, maka Hussein tinggal dan bekerja di dusun. Sama seperti teman-temanmu yang lain”. Kali ini Wo Hira yang menambahkan.
Amak masih diam juga.
Akhirnya kuberanikan diri untuk mengutarakan keinginanku,
“Sebenarnya Hussein pengen kuliah mak, pengen lanjut. Hussein tidak mau terhenti sampai disini saja. Ada cita-cita yang ingin Hussein wujudkan Mak, Bak. Hussein sadar bahwa keputusan ini akan disertai konsekuensi yang berat untuk Hussein, berat pula untuk keluarga kita.”
Kembali aku berusaha mengumpulkan kekuatanku.
“Hussein tidak mau tinggal di dusun. Mau lebih maju mak. Biar semua juga jadi lebih baik. Walau berat”
Semua menatapku. Amak masih terdiam juga.
“ Namun pada akhirnya keputusan Hussein serahkan juga pada keputusan bersama kita. Karena nantinya kalaupun Hussein jadi kuliah, pembiayaannya kan akan ditanggung oleh semua, bukan hanya Amak dan Abak.” Ucapaku meminta pertmbangan.
Wo Da, Kakak ku yang tertuapun akhirnya angkat bicara,
“ Kalau Wo Da sih, inginnya Hussein Kuliah. Jadi orang yang lebih baik dari semua Wo dan Dangmu yang tidak kuliah. Soal semua konsekuensinya, akan kita tanggung bersama nantinya. Dan Wo da juga tidak ragu akan tekad Hussein. Karena selama enam tahun hidup madiri di kecamatan, Hussein sudah terbukti sanggup bertahankan.” Tuturnya panjang
Semakin kuat saja azzam ku mendengar suntikan semangat dari Wo Da, Kakak tertua yang paling sering men-cereweti ku, walau sebenarnya dialah yang paling sayang padaku..
“Bagaimana Mak, Bak? Keputusan tertinggi ada ditangan Mak dan Bak”  Kali ini Dang Deskan yang bersuara.
“ Mak Setuju!, Hussein Harus Kuliah, Apapun konsekuensinya nanti Mak dan Bak akan siap menanggungnya. Tapi dengan Syarat..”, Amak Terhenti,
“ Amak hanya mengizinkan Hussein kuliah di universitas Negeri, agar lebih murah dan lebih berkualitas. Emak tidak mengizinkan di swasta. Disamping itu, Hussein harus bertekad kuat, bermental baja, tidak boleh lempeng dan putus ditengah  jalan, hanya karena susahnya pembiayaan dan hidup di kota. Bagaimana Bak?”. Kalimat terakhir Amak meminta persetujuan dari Abak.
“Kapan Tes Penerimaan Mahasiswa baru?” Abak bertanya sambil menatapku. Sepertinya aku bisa menebak arah pembicaraan Abak.
“Minggu depan, Bak. Untuk gelombang pertama reguler. Pengumuman kelulusannya tanggal 14 Agustus.”Jawabku. Mulai muncul rasa optimis cita-citaku untuk kuliah akan terwujud.
“Baik. Persiapkan diri untuk tes ya. Sebentar Lagi SPMB gelombang Pertama. Usaha yang keras, berhasil syukur,tidak juga jangan putus asa. Masih Ada SPMB Gelombang kedua kan?.”
“Iya, Bak.Insya Allah Lulus Gelombang pertama regular.” Yakinku.
Leganya hatiku. Siap Mak, Bak. Akan kubuktikan bahwa anakmu ini bisa dan sanggup!
14 Agustus 2004
Pengumuman SPMB.
            Alhamdulillah, Aku Lulus. Program study sesuai dengan cita-cita ku, Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Bengkulu. Universitas Negeri Di provinsi.
Hari ini aku harus mulai menata semangat baru, karena Petualangan baru akan segera di mulai. Jadi MAHASISWA.
Segala puji bagimu Ya Allah.


************************To Be Continued**************************
Note:
Abak : Ayah
Amak: Ibu
Wo : Kakak Perempuan
Dang: Kakak Laki-laki
Idak : tidak


No comments:

Post a Comment