Pages

Saturday, October 20, 2012

Kesungguhan Sang Putra

Kesungguhan Sang Putra

(kisah, dimuat di Islamedia)


“Ya Allah..
Tlg lancarknlah sgala urusan ku..

Sm0ga slama 4 tahun aku kuliah ,, aku dapat melaksanakan sgala tata tertib nya dengan baik ya Allah ..
Amiiinn ...”

“Perjalanan panjang ..”
“Jadwal pagi ni.
Bangun pagi,
Siap" Tahajudan, Sholat Shubuh, Brangkt Ospek”
“Perjuangan demi Kesuksesan dimasa depan ..
Amiin.”

“SEBI is The Best !!!”

“SEBI is School Of Islamic Economics ..”

“Allahu Akbar !!!
Tegakkanlah Islam !!!”

Itulah kata-kata yang ditulis di akun Facebook-nya. Beberapa hari terakhir ini aku sengaja mengikuti. Sepertinya curahan hati yang dalam, penuh makna, menunjukkan suasana kesungguhan. Akupun yang membacanya seakan terbawa emosi, seakan ikut larut pada suasana hatinya. Sebab selama ini aku tahu persis, kondisi seorang Nurahman Saputra (Putra).

Ia anak muda seperti kebanyakan, setelah lulus SMU ingin melanjutkan ke jenjang kuliah. Tetapi tidak dengan perjuangan untuk kebutuhan biaya sekolahnya. Terutama Ibunya, yang hanya seorang Janda dengan dua anak laki-lakinya. Ditinggalkan tanpa dinafkahi oleh Suaminya, ketika Putra masih berumur sekitar 5 tahun. Sejak itu pula Ibunya harus bekerja, membanting tulang sendirian, untuk keperluan hidup dan membesarkan kedua anaknya.

Ibunya terhitung masih saudara dengan istriku, karena ia sepupuan dengan Almarhum Bapak istriku. Tinggal mengontrak di dekat rumah. Ruangan dengan dua petak itu, seakan menjadi tempat terindah bagi mereka bertiga, menjadi tempat berteduh, bercengkerama, bahkan menemani tidur malam mereka, setelah masing-masing lelah menjalani kesehariannya.

Ibunya hampir tiap hari meninggalkan rumah, berkeliling dari rumah ke rumah, dari Saudara ke Saudara, bahkan kadang harus menginap karena jauhnya perjalanan. Untuk menawarkan jasa refleksi atau rias kecantikannya. Pijat refleksi, urut, lulur, atau potong rambut adalah keahliannya. Alhamdulillah… masih ada skill, sehingga ada penghasilan. Walaupun kadang-kadang tidak cukup untuk keperluan makan, uang kontrakan, atau biaya sekolah kedua anaknya. Belum lagi kalau penyakit asmanya kambuh, badannya menjadi lemas, lunglai, tak berdaya maka Ibunya hanya bisa berdiam di rumah.

Untungnya kedua anaknya tidaklah manja. Putra misalnya, Ia pun mempunyai keahlian yang sama dengan Ibunya, yaitu pijat refleksi. Untuk menambah uang saku Ia sering menawarkan jasa refleksinya. Termasuk ke aku, Ia sering memijat refleksi. Aku tahu…, ketika Ia mengirim SMS ke HP Istri aku atau ke aku menawarkan refleksinya, artinya ia sedang ada perlu biaya lebih. Baik untuk keperluan sekolah lainnya, atau ongkos naik angkot ke sekolah. Atau untuk membeli pulsa, dari HP yang ia peroleh dari hasil membantu pekerjaan di rumah Saudara yang lain, selama liburan sekolah. Disaat anak sekolah yang lain menghabiskan liburannya untuk bermain. Putra memilih bekerja, apa saja yang bisa dikerjakan, maka tak segan Ia lakukan, pekerjaan rumah tangga sekalipun.

Adiknya Putra juga demikian, Fery, kelas 2 SMK, ke sekolah naik sepeda. Untuk menghemat ongkos katanya. Karena sekolahnya siang, maka setiap pagi Ia membantu-bantu dulu di rumahku. Entah itu menjemur, mencuci motor, membersihkan tanaman, atau menyapu. Ia cukup senang punya uang dari hasil keringatnya sendiri. Atau kadang-kadang Fery ikut menemani anak-anakku bermain, ketika istriku juga sedang ada keperluan keluar rumah. Dari uangnya itu, Fery juga memelihara ayam kampung. Yang sekarang sudah beranak-pinak cukup banyak.

Awalnya setelah lulus SMK tahun ini, Putra bertekad bulat untuk bekerja. Membantu perekonomian keluarganya, mencari tambahan uang, karena memang Ibunya juga sudah berumur, badannya sudah tidak cukup kuat lagi bekerja. Putra banyak mencari informasi lowongan pekerjaan. Tidak sedikit lamaran pekerjaan Ia kirimkan. Pernah interview walaupun cukup jauh tempatnya, ia jalani. Sayang keberuntungan belum berpihak, sehingga tidak lolos diterima untuk bekerja.

Disela-sela memijat refleksi, aku menawarkan untuk kuliah beasiswa di SEBI. Kebetulan ada seorang ikhwan disana yang aku kenal, menawarkan program bea siswa dari salah satu Bank Pemerintah, untuk bersekolah di kampus ini. Syaratnya adalah cukup ada rekomendasi dari kader, dan tentunya dengan syarat akademik lainnya. Semula Putra tidak mau, ia tetap ingin bekerja. Tetapi setelah aku yakinkan tentang perlunya ‘orang yang berpendidikan itu lebih mulia’ maka ia mau mencoba ikut ujian seleksinya.

“Untuk biaya ujiannya… Mas bantu deh…” Demikian aku menyemangati Putra untuk ikut mencoba ujian seleksi.

Setelah melihat syarat-syaratnya di Internet, Putra bersungguh-sungguhnya untuk mencoba, termasuk sering bertanya tentang soal-soal yang nantinya kira-kira akan diujikan. Karena tahap ujiannya cukup banyak. Psikotes, ujian tulis, tes baca qur’an, dan terakhir wawancara. Untuk sementara beberapa panggilan interview ia tinggalkan, karena memilih fokus untuk ikut ujian.

Ujian psikotes lulus, berikutnya ujian tulis. Pada saat ini, aku sempat menghubungi rekan ikhwan yang ada di kampus itu. Rekanku mengatakan… Alhamdulillah, nilainya tinggi, ia lolos. Berita ini aku sampaikan ke Istri, lalu istri menyampaikan ke Ibunya, dia langsung bersujud syukur. Tetapi aku berpesan, supaya jangan diberitahukan dulu ke Putra, karena pengumuman resminya baru hari besoknya. Ibunya menangis gembira…

Tinggal menunuggu tes terakhir yaitu wawancara. Wawancara ini untuk menentukan besarnya beasiswa, sebab tidak semuanya memperoleh beasiswa 100%, ada yang 75%, atau 50%, tergantung nanti dari hasil tes wawancara dengan pihak user.
Ada pemberitahuan ke Putra, wawancara dengan salah satu Durektur Bank Pemerintah penyedia beasiswa tersebut. Hatinya berdegub kencang. Tidak menyangka harus berhadapan dengan seorang Direktur Bank. Sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, maka membuat hatinya berdegub kencang.

Hari-hari menunggu wawancara, Putra sering main ke rumahku. Aku berpesan, bahwa saat wawancara nanti, usahakan tenang, rileks, jujur, dan apa adanya saja. Ungkapkan juga bahwa, kalau Putra tidak dapat beasiswa yang 100%, maka Ia memilih bekerja saja. Sebab, Ibunya juga mewanti-wanti tidak akan sanggup menanggung sisa biaya kuliahnya, kalau tidak ditanggung 100%.

Hasil wawancara, Putra lolos untuk yang memperoleh beasiswa 100%. Ia termasuk dari 40 orang yang dapat beasiswa penuh. Maka…, dengan rasa syukur Ia menyambut kenikmatan itu. Dan sejak itu Ia bertekad ingin menjadi orang yang berpendidikan, yang ingin membahagiakan Ibunya.

Dan terakhir, sebelum mengikuti ospek di kampusnya kemarin. Putra mengirim SMS ke HP istri saya, mohon izin, restu dari Istri dan Aku untuk mulai kuliah besoknya. Karena program kuliahnya yang mengharuskan menginap di asrama kampus, maka lama nanti tidak bertemu dengan kami. Termasuk, karena juga harus mengelola keuangan di salah satu masjid yang ada disekitar kampus. Dan dari mengelola keuangan masjid itu, maka mendapat uang saku setiap bulannya.

Akupun memberi komentar di salah satu status di Facebook-nya…
“Bersungguh2lah Putra, Mas turut berdo’a… “

Dan dijawab oleh Putra,
“Terima kasih Mas, atas smua kebaikannya…”


Jakarta, 20 September 2011
Abu Fathi

COPAS dari Sumber yang bermanfaat :   http://halik-amin.blogspot.com/2012/03/kesungguhan-sang-putra.html

Wednesday, October 17, 2012

orkestra melankolis

Andaikan bulan bisa ngomong
mungkin dia tidak hanya akan ngomong tapi tertawa..
terbahak-bahak...
menertawai ku yang keras kepala....
menertawaiku yang idealis
menertawai ku yang bergelora
menertawaiku dengan segala lemahku
andaikan bulan bisa bicara....

andaikan bulan bisa menulis,
mungkin sudah penuh halaman beranda langit malam..
dengan kalimat kalimat tentangku
yang selalu sok teguh
yang selalu sok kokoh
yang selalu sok tegar

tapi syukurlah bulan tidak bisa melakukan dua hal itu...
syukurlah..
cukuplah manusia saja.
cukuplah mereka.

Sakit kah?

Rabu, 17 Oktober 2012..

Sengaja nggak masuk.
sudah izin sih.

Demam.
tadi malam.
sakit kepala, kemaren petang.
kaget, kemaren pagi.
agak sakit hati kemaren sore
kecewa
kemaren petang.

enggan.
pagi ini.




Thursday, October 4, 2012

Budaya Negatif Orang Indonesia Menurut Orang Jepang

Budaya Negatif Orang Indonesia Menurut Orang Jepang

Prof Nagano, staf pengajar Nihon University memberikan kuliah
intensive course dalam bidang Asian Agriculturedi IDEC Hiroshima
University.
Beliau sering menjadi konsultan pertanian di negara-negara Asia
termasuk Indonesia. Ada beberapa hal yang menggelitik yang
utarakannya sewaktu membahas tentang Indonesia:
1.Orang Indonesia suka rapat dan membentuk panitia macam-macam.
Setiap ada kegiatan selalu di rapatkan dulu, tentunya dengan
konsumsinya sekalian. Setelah rapat perlu dibentuk panitia kemudian
diskusi berulang kali,saling kritik, dan merasa idenya yang paling
benar dan akhirnya pelaksanaan tertunda-tunda padahal tujuannya
program tersebut sebetulnya baik.
2. Budaya Jam Karet
Selain dari beliau, saya sudah beberapa kali bertemu dengan orang
asing yang pernah ke Indonesia. Ketika saya tanya kebudayaan apa yang
menurut anda terkenal dari Indonesia dengan spontan mereka jawab :
Jam Karet! Saya tertawa tapi sebetulnya malu dalam hati.Sudah
sebegitu parahkah disiplin kita?
3. Kalau bisa dikerjakan besok kenapa tidak (?)
Kalau orang lain berprinsip kalau bisa dikerjakansekarang kenapa
ditunda besok? Saya pernah malu juga oleh tudingan Sensei saya
sendiri tentang orang Indonesia. Beliau mengatakan, Orang Indonesia
mempunyai budaya menunda-nunda pekerjaan.
4. Umumnya tidak mau turun ke Lapangan
Beliau mencontohkan ketika dia mau memberikan pelatihan kepada para
petani, pendampingnya dari direktorat pertanian datang dengan safari
lengkap padahal beliau sudah datang dengan work wear beserta sepatu
boot.
Pejabat tersebut hanya memberikan petunjuk tanpa bisa turun ke
lapang, kenapa? Karena mereka datangnya pakai safari dan ada yang
berdasi. Begitulah beliau menggambarkan orang Indonesia yang hebat
sekali dalam bicara dan memberikan instruksi tapi jarang yang mau
turun langsung ke lapangan.
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita sudah terlalu sering dinina-
bobokan oleh istilah indonesia kaya,masyarakatnya suka gotong royong,
ada pancasila,agamanya kuat, dan lain-lain.Dan itu hanyalah istilah,
kenyataannya bisa kita lihat sendiri.
Ternyata negarakita hancur-hancuran, bahkan susah
untuk recovery lagi, mana sifat gotong royong yang membuat negara
seperti Korea, bisa bangkit kembali. Kita selalu senang dengan
istilah tanpa action. Kita terlalu banyak diskusi,saling lontar ide,
kritik, akhirnya waktu terbuang percuma tanpa action. Karena belum
apa-apa sudah ramai duluan.
Kapan kita akan sadar dan intropeksi akan kekurangan-kekurang an kita
dan tidak selalu menjelek-jelekkan orang lain? Selama itu belum
terjawab kita akan terus seperti ini, menjadi negara yang katanya
sudah mencapai titik minimal untuk disebut negara beradab dan tetap
terbelakang disegala bidang.
Mudah-mudahan pernyataan beliau menjadi peringatan bagi kita semua,
terutama saya pribadi agar bisa lebih banyak belajar dan mampu
merubah diri untuk menjadi yang lebih baik.
Semoga kita bisa memperbaiki Citra ini dengan sikap 3 M (mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari yang terkecil).
MUHAMMAD ASEP ZAELANI,
Mahasiswa S-2 Ekonomi Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
asep.bdg@pnm.co.id

Sumber :  http://lateralbandung.wordpress.com/2007/07/26/budaya-negatif-orang-indonesia-menurut-orang-jepang/